Mengenal Limbal dan Simbal, Jenis Sapi Persilangan Bali, Limousin Dan Simental

Baca Juga:


Sapi Bali
Sapi Limousin

Apa Itu Sapi Simbal dan Limbal?

Persilangan Induk Sapi Bali Dengan Limousin dan Simmental Lahirlah Sapi SIMBAL DAN LIMBAL

Kelemahan Reproduksi pada Sapi Simbal dan Limbal. Pedet yang berdarah Simmental-Bali (Simbal) maupun Limousine-Bali (Limbal) menurut beberapa ahli akan mengalami penurunan kemampuan reproduksi yang dipengaruhi oleh faktor semakin tingginya gene (darah) Bos Taurus dan asupan nutrisi yang kurang memadai. Hanya saja penurunan kemampuan reproduksi ini ternyata tergantikan dengan pertumbuhan sapi Limbal dan Simbal yang lebih cepat dari sapi Bali.

Sapi Simmental: Sapi Simmental merupakan bangsa Bos taurus (Talib dan Siregar, 1999), yang berasal dari daerah disekitar Simme di negara Switzerland namun saat ini sudah berkembang sangat pesat di benua Eropa dan Amerika. Saat ini, Sapi Simental termasuk salah satu sapi pedaging.
Sapi Limousin: Sapi limousin adalah sapi yang pertama kali dikembangkan di Perancis. Sapi limousin merupakan tipe sapi pedaging dengan perototan yang lebih baik dari sapi simmental.
Sapi Bali: Banteng atau tembadau, Bos javanicus, adalah hewan yang sekerabat dengan sapi dan ditemukan di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Banteng yang telah dijinakkan atau didomestikasikan pada beberapa daerah di Asia Tenggara dan Australia sering dikenal dengan sebutan Sapi Bali.

Perkembangan Sapi Simbal dan Limbal di Riau
Ternak sapi di Desa Suka Mulya, Kabupaten Kampar, berkembang cukup pesat. Saat ini ada sekitar 297 ekor dari jumlah petani ternak 97 orang yang melakukan pengembangbiakan sapi melalui penerapan teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik dari jenis induk sapi bali dikawinkan dengan sapi simental, limousine dan brahma.

Salah satu kelompok Peternak Sapi Muda Tani yang diketuai Sudaryanto bersama Joko Wahono (sekretaris) dan Rubiyo (Bendahara) membentuk kelompok sejak tahun 2009 sebanyak 25 orang. Awalnya mereka memelihara sebanyak 50 ekor sapi Bali, sampai saat ini berjumlah 92 ekor.

Kemudian mereka mencoba mengembangbiakkan sapi bali itu dengan cara inseminasi buatan atau kawin silang Sapi Bali dengan Sapi Simental, Sapi Bali dengan Limmousine atau Sapi Bali dengan Brahma.

Hasilnya sangat mengagumkan, tinggi jangkung, berbodi montok dan padat serta memiliki nilai jual cukup menggiurkan. Anaknya yang baru lahir umur dua bulan saja sudah bernilai Rp5 juta sementara sapi bali murni mungkin baru seharga Rp1 juta. Sedangkan yang sudah berumur 6 tahun harga jualnya mencapai Rp25 juta.

Soal pakan kata Joko Wahono, tidak sulit mendapatkannya, cukup dengan rerumputan atau rumput gajah, pakan selingan dengan memberi dedak bercampur konsentrat, ia mengaku sangat senang mengembangbiakan sapi dengan cara IB itu. “Keuntungannya jauh lebih banyak daripada jenis sapi bali biasa, sapi-sapi ini awalnya kami pelihara dengan induk sapi bali, dengan adanya Iptek maka kami manfaatkan ilmu itu, dan alhamdulillah hasilnya sangat mengagumkan,” ucap Joko penuh semangat.

“Penerapan Ilmu Teknologi dengan inseminasi buatan untuk ternak sapi ini kawin silang antara bibit sapi bali dengan simental, atau dengan brahma dan limousine sangat mengagumkan, luar biasa, bentuk badannya besar dan lebar, tinggi jangkung, jenis sapi hasil IB ini dapat berkembangbiak dengan baik,” kata Nurhasani yang turut memeriahkan kegiatan Harganas XXI dengan membuka Bazar Ternak di Desa Suka Mulya, Selasa (2/9).

Ia katakan, inilah manfaat ilmu dan teknologi, IB tidak saja membantu peternak mengembangbiakan ternaknya dengan hasil maksimal, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

“Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik memasukkan sperma sapi jantan yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu ke dalam saluran alat kelamin betina menggunakan metode dan alat khusus ‘insemination gun‘,” jelasnya.

IB lanjut Nurhasani, dapat memperbaiki mutu genetika ternak, tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya, mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu lama. Selain itu meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur serta mencegah penularan/penyebaran penyakit kelamin.
Sumber: https://ift.tt/2pyzKTW

Upaya Peningkatan Performance Sapi Bali Dengan Inseminasi Buatan di NTT

Nusa Tenggara Barat sebagai provinsi penyangga kebutuhan sapi bibit rumpun Bali di tingkat Nasional, diharapkan mampu menghasilkan sapi bibit yang berkualitas dari segi kualitas kemurnian maupun mutu genetiknya. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu genetis dan performance ternak dengan program Inseminasi Buatan atau Kawin Suntik. Peternak sering kali mengidentikkan inseminasi buatan dengan persilangan (crossing), di mana induk sapi rumpun Bali diinseminasi dengan semen beku sapi dari golongan Bos Taurus khususnya Simmental dan Limousine.

Pedet yang berdarah Simmental-Bali (Simbal) maupun Limousine-Bali (Limbal) menurut beberapa ahli akan mengalami penurunan kemampuan reproduksi yang dipengaruhi oleh faktor semakin tingginya gene (darah) Bos Taurus dan asupan nutrisi yang kurang memadai.

Pada beberapa kasus peternak sering kali menunda kawin suntik terhadap sapi yang sedang berahi jika semen beku yang tersedia di Pos IB/Inseminator hanya dari rumpun Bali, menunggu sampai tersedia semen beku Simmental atau Limousine. Sering kali peternak beranggapan jika kawin suntik dengan semen beku Bali sama saja dengan kawin alam. Benarkah pendapat tersebut, penelitian yang pernah dilakukan oleh salah seorang Inseminator yang bertugas di Kecamatan Jonggat mungkin bisa memberikan gambaran tentang anggapan tersebut.

Hasil evaluasi berat lahir empat puluh (40) ekor pedet sapi bali yang lahir dari bulan Maret-Juli 2014 di Kelompok Tani Ternak Mandiri, Dusun Buncalang, Desa Sukerare, Kecamatan Jonggat – Lombok Tengah menunjukkan ada perbedaan berat lahir yang signifikan antara Pedet hasil Inseminasi Buatan dengan semen beku Bali yang diproduksi oleh Balai Inseminasi Buatan (BIB) Provinsi Nusa Tenggara barat dibanding Pedet hasil kawin alam dengan Pejantan dari rumpun yang sama (Bali). 

Tabel : Hasil Penimbangan berat lahir pedet Sapi Bali dari Kawin Alam dan Inseminasi Buatan di Kelompok Tani Ternak Mandiri, Dusun Buncalang, Sukerare, Jonggat- Lombok Tengah.

Dari tabel di atas setelah diuji secara statistik dengan Uji t (turkey test) didapatkan bahwa t hitung = 14,81; sedangkan t tabel = 1,725 pada P = 0,05, dimana t hitung > (lebih besar) dari t tabel menunjukkan adanya perbedaan berat lahir yang nyata antara Pedet hasil Kawin Alam dengan Pedet hasil Inseminasi Buatan dengan Semen Beku Bali.

Gambar perbanding Pedet Hasil IB dengan Kawin Alam

Pedet Sapi Bali hasil Kawin Alam

Pedet Sapi Bali Hasil Inseminasi Buatan menggunakan Semen Beku Bull (Pejantan Unggul) Bali produksi Balai Inseminasi Buatan (BIB) 

Dari penelitian di atas diharapkan bisa menjadi referensi bagi Peternak, Inseminator maupun para pemangku kebijakan di bidang Peternakan, bahwa Inseminasi Buatan dengan Semen Beku Bali mampu memberikan perbaikan genetic dan performance ternak. 

** disarikan dari Skripsi Lalu Wiramaya (Inseminator Kec. Jonggat-Loteng), mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Tenggara Barat-Mataram yang berjudul : PERBEDAAN BERAT LAHIR PEDET SAPI BALI ANTARA KAWIN ALAM DAN INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN JONGGAT LOMBOK TENGAH


Ciri-ciri Sapi Bali, Karakteristik Ukuran Tubuh dan Sifat-sifat Reproduksi 

Sapi Bali mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan. Di Pulau Bali, sapi Bali digunakan untuk pariwisata upacara keagamaan seperti acara ”gerumbungan” atau lomba adu sapi dan upacara ”Pitra Yadnya” atau sarana pengantar roh ke surga khususnya sapi Bali yang berwarna putih

Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia, yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon serta Pulau Bali yang menjadi pusat gen sapi Bali.

Sapi Bali memiliki ciri khusus seperti adanya warna putih pada kaki yang mirip atau menyerupai kaos kaki putih dan adanya warna putih membulat ada bagian pantatnya yang merupakan ciri khas dan tidak dimiliki oleh sapi lain

Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos.

Dari Pulau Bali yang dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus pusat bibit, sapi Bali menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali yaitu ke Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927, ke Lombok pada abad ke-19, ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920. Selanjutnya sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia, Philipina dan Ausatralia bagian Utara. Sapi Bali juga pernah diintroduksi ke Australia antara 1827-1849.

Populasi sapi Bali yang merupakan bangsa sapi asli Indonesia, berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos sondaicus (Bos banteng). Populasinya saat ini ditaksir sekitar 526.031 ekor. Kekhawatiran akan terus menurunnya populasi sapi Bali dipicu oleh kenyataan bahwa selama krisis ekonomi, tingkat permintaan sapi lokal meningkat seiring mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi Bali hidup dikirim ke beberapa kota bear di pulau Jawa menjadi sering terlihat belakangan ini. Sedikitnya 50.000 ekor sapi Bali setiap tahunnya dikapalkan ke luar propinsi Bali.

Selain sapi Bali, bangsa sapi lokal lainnya adalah sapi Grati, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus, ciri-ciori fenotipik punduk diperoleh dari B. indicus, sedangkan warna kulit coklat atau merah bata sama dengan B. sondaicus. Dari jumlah total populasi sapi lokal sebanyak 12.000.000 ekor, 500.000 ekor merupakan tipe sapi perah dan sisanya 11.500.000 ekor tergolong tipe sapi potong. Perkiraan pertambahan populasi sebanyak 3.500.000 ekor per tahun.

Pembibitan Sapi bali merupakan sumber kegiatan dalam rangka peningkatan pendapatan petani ternak sapi bali selain itu sebagai usaha pelestarian dan pengembangan sapi bali untuk mencapai kemajuan atau meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi bali menjadi lebih baik. Pemilihan calon induk penting dilakukan dalam pembibitan sapi bali dengan tujuan anak sapi yang dihasilkan nantinya mempunyai kualitas yang baik. Syarat ternak yang layak digunakan sebagai induk antara lain,
  • Mempunyai tanda telinga, artinya pedet tersebut telah terdaftar dan lengkap silsilahnya
  • Matanya tampak cerah dan jernih
  • Tidak terdapat tanda-tanda sering batuk, terganggu pernapasanya
  • Tidak terlihat adanya eksternal parasit pada kulit dan bulunya
  • Tidak terdapat adanya tanda-tanda mencret pada bagian ekor dan dubur
  • Tidak ada tanda-tanda kerusakan kulit dan kerontokan bulu

Sejak lama sapi Bali sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dan mendominasi spesies sapi di Indonesia Timur. Peternak menyukai sapi Bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai feritiliast tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadp perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 %. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara 15,48 - 16,28 bulan.

Tabel 1. Penampilan Sapi Bali dengan Pemberian Pakan Konsentrat Selama 154 Hari
(Performance of Bali Cattle Feeding with Concentrate Feed for 154 Days)

Parameter
Nilai (Value)
Rata-rata Berat Hidup (kg)
Average Live Weight (kgs)
334.7
Konsumsi Pakan Bahan Kering (kg/ekor/hari)
Dry Matter Feed Consumption (kg/head/day)
6.02
Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian (kg/ekor/hari)
Average Daily Gain (kg/head/day)
0.66
Nisbah Konversi Pakan
Feed Convertion Ratio
9.12
Kecernaan Bahan Kering (%)
Organic Matter Digestibility (%)
86.60

Catatan : Pada penelitian di Institut Pertanian Bogor, sapi Bali dengan berat awal 250 kg dibagi dalam 2 tahap perlakuan pakan. Tahap pertama diberikan rumput selama 3 bulan, diikuti pemberian campuran rumput dan konsentrat selama 154 hari, secara nyata meningkatkan berat badan sebanyak 50 kg.
Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
  • Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone
  • Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
  • Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
  • Kepala agak pendek dengan dahi datar
  • Badan padat dengan dada yang dalam.
  • Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir
  • Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
  • Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
  • Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam
  • Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
Sapi Bali termasuk jenis yang disukai oleh para peternak karena dwiguna, bias sebagai sapi pekerja juga sapi pedaging, serta mempunyai banyak keunggulan seperti :
  • Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)
  • Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,
  • Dapat hidup di lahan kritis.
  • Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.
  • Persentase karkas yang tinggi.
  • Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.
  • Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana.
  • Kandungan lemak karkas rendah.
  • Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.
Dari berbagai kelebihan tersebut, Sapi Bali juga memiliki kelemahan walaupun hanya sedikit, diantaranya :
  • Dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui media “lalat”.
  • Rentan terhadap Malignant Catarrhal Fever ,jika berdekatan dengan domba.

Karakter ukuran tubuh Sapi Bali :

Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Secara umum ukuran badan sapi bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu sapi Bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25-30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45-65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983) 

Ukuran tubuh sapi Bali termasuk dalam kategori sedang dimana sapi Bali betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Ukuran tubuh sapi Bali juga sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan Pane (1990) dari empat lokasi berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh rataan tinggi gumba antara 122-126 cm (jantan) dan 105-114 cm (betina); panjang badan 125-142 cm (jantan) dan 117-118 cm (betina); lingkar dada 180-185 cm (jantan) dan 158-160 cm (betina). Rataan ukuran tubuh lainnya tinggi panggul 122 cm, lebar dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm 

Karakteristik umum sifat-sifat reproduksi sapi Bali : 

Umur dewasa kelamin rata-rata 18-24 bulan untuk betina dan 20-26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991); umur kawin pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan; beranak pertama kali 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285-286 hari (Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase beranak 70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979) selama 36 – 48 jam berahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979; Payne, 1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan (Pane, 1979). Sapi Bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), 66% dari sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi Bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7% (Sumbung et al., 1976). 

Berat lahir sapi Bali untuk anak betina sebesar 15,1 kg dan 16,8 kg untuk anak jantan (Subandriyo et al., 1979) dengan kisaran 12-17 kg (Talib et al., 2003), di Malaysia sebesar 16,7 kg (Devendra et al., 1973) dan Australia sebesar 16-17 kg (Kirby, 1979). Sedangkan berat lahir sapi Bali pada pemeliharaan dengan mono kultur padi, pola tanam padi-palawija dan tegalan masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan 17,3 kg (Darmaja, 1980). Berat sapih kisaran antara 64,4-97 kg (Talib et al., 2003), untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg (Darmesta dan Darmadja, 1976); 74,4 kg di Malaysia (Devendra et al., 1973); 82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi – palawija, 87,2 kg pada tegalan (Darmadja, 1980). Berat umur setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg (Talib et al., 2003) dimana sapi betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg (Lana et al., 1979). Berat dewasa berkisar antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Sedangkan pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Subandriyo et al., 1979; Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27 kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg (Nitis, 1976); pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978). 

Sapi Bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14% (Sukanten, 1991). 

Pakan
Ada dua jenis pakan sapi bali yaitu, pakan hijauan dan pakan penguat (konsentrat). Pakan yang diberikan dalam pemeliharaan calon induk sapi bali harus memadai, baik jumlahnya maupun mutunya. Disamping pemberian hijauan yang berkualitas (minimal 10% dari berat badannya), induk sapi bali yang sedang bunting dapat diberikan pakan penguat berupa dedak padi sebanyak 1,5 s.d 2 kg/ekor/hari.


Reference :
1. D. Wahyuni. Sapi Bali di Ambang Kepunahan. Bisnis Indonesia. October 2000.
2. B.A. Murtijo. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius. 1990.
3. Tim Fokus. Perdagingan Nasional di Ujung Tanduk. Komoditas. No 07/Tahun 1.
October 1999.
4. National Research Council. 1983. Little-Konwn Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press.
5. Payne, W.J.A. and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21
6. Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences.
7. Moran, J.B. 1978. Perbandingan “performance” jenis sapi daging di Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ciawi 24-25 Juli 1978. Direktorat Jenderal Peternakan. Depatemen Pertanian. Bogor.
8. Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan, P4 dan Fapet IPB. Bogor.
9. Nitis, I.M. dan Mandrem.1978. Korelasi antara tambahan berat badan dengan makanan yang dimakan dan dengan tabiat makan sapi Bali yang dikandangkan. Pros. Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan IPB. Bogor
10. Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Rev. Anim. Prod. 3:24-30.
11. Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang.
12. Darmadja, S. G. N. D.1980. Half a century, traditional cattle husbandry within the agricultural ecosystem of Bali. Thesis, Universitas Pajajaran. Bandung.
13. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali.
14. Devendra, C. T., K. C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agri. Journal 49:183-197.k

Sumber: https://ift.tt/2oDUKIq dan sumber lainnya.

Title :Mengenal Limbal dan Simbal, Jenis Sapi Persilangan Bali, Limousin Dan Simental
Link :Mengenal Limbal dan Simbal, Jenis Sapi Persilangan Bali, Limousin Dan Simental

Artikel terkait yang sama:


Artikel Terkait Mengenal Limbal dan Simbal, Jenis Sapi Persilangan Bali, Limousin Dan Simental :